Para pejabat PBB dan aktivis HAM menyatakan China terus meningkatkan
persekusinya terhadap warga etnis Uighur. Mereka mengurung hingga satu juta
orang anggota kelompok etnis yang sebagian besar muslim itu dalam kondisi yang
oleh para pengamat digambarkan mirip dengan kamp konsentrasi. Banyak di antara
mereka yang berhasil meloloskan diri dari penindasan itu pada akhirnya memilih
untuk bermukim di kawasan Washington DC. Kini Washington menjadi tempat tinggal
terbesar komunitas Uighur di Amerika Serikat.
Di sebuah taman di pinggiran Washington, tepatnya di kawasan Fairfax,
Virginia, anak-anak Uighur terbebas dari teror yang dialami para orang tuanya
di tanah kelahiran mereka di provinsi Xinjiang, China. Di sana, anak-anak
tersebut bebas bermain dan berbicara dalam bahasa Uighur, suatu hal yang tidak
akan mungkin mereka lakukan di tanah air mereka sendiri.
Irade Kashgary adalah salah seorang pendiri sekolah bahasa Uighur Ana Care
& Education, di kawasan utara negara bagian Virginia. Aktivis Uighur itu
mengatakan kegembiraannya atas kebebasan tersebut.
“Saya gembira karena saya memiliki kebebasan ini dan kemampuan untuk
berbicara terus terang untuk keluarga saya dan warga Uighur. Tetapi pada saat
bersamaan, rasanya ada sesuatu yang hilang. Pada waktu kita tidak memiliki
akses ke identitas kita, ke tanah air kita, kita tidak bisa merasa utuh
sepenuhnya," ujar Irade Kashgary.
Sementara bagi Erik Jalil, warga Amerika keturunan Uighur yang berusia 18
tahun, maupun anak-anak pengungsi yang lari menyelamatkan diri ke Amerika,
tanah air seperti mimpi yang samar-samar.
“Kekecewaan terbesar saya adalah saya tidak akan dapat kembali. Itu adalah
tempat di mana saya berasal. Saya selalu ingin melihat tempat orang tua saya
tumbuh besar. Mereka selalu menggambarkan betapa indahnya tempat itu,"
ujar Erik Jalil yang juga aktivis Uighur itu.
Aktivis HAM Omer Kanat mengkhawatirkan kemungkinan tidak adanya pengungsi
yang akan kembali jika China melanjutkan kampanye kolonisasinya.
“Situasi di sana digambarkan oleh para pakar barat sebagai genosida
kultural, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itulah yang
terjadi di kawasan terhadap bangsa Uighur," ujar Omer Kanat, Direktur
Uighur Human Rights Project.
Amerika telah menawari warga Uighur tempat yang aman untuk berlindung dan
para anggota Kongres Amerika telah memberikan pernyataan dukungan dengan
legislasi yang mengecam pelanggaran HAM di Xinjiang.
Atas hal tersebut, Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi menegaskan, “Sekitar tiga
juta orang Uighur berada dalam kamp-kamp pendidikan… apa? Dan mengapa dunia
tidak angkat bicara? Kita harus melakukannya.”
Sementara itu Senator Marco Rubio dari Partai Republik menyatakan bahwa
penindasan China terhadap keyakinan agama dan komunitas agama memang nyata.
"Memang jahat. Ini terlalu mengerikan untuk diabaikan," ujarnya.
Meski demikian, sejauh ini, kata-kata mereka belum mengarah pada tindakan.
“Amerika Serikat tidak dapat berbuat banyak karena mereka harus
mempertahankan hubungan dengan China, tetapi jelas saya menginginkan lebih
banyak dukungan dari Amerika Serikat," ujar Erik Jalil.
Sangat ironis. Sewaktu para pengungsi menikmati kedamaian di tempat tinggal
baru, ternyata banyak orang Uighur yang mengatakan hati mereka masih pedih
karena tidak tahu kapan mereka dapat melihat tanah airnya lagi. [uh/ab] (VOA)