Penajam
Paser Utara menjadi satu dari dua kabupaten di Kalimantan Timur yang terpilih
menjadi lokasi ibukota baru. Pemerintah daerah terus bersiap, termasuk membuka
pintu lebar-lebar bagi jutaan warga baru yang akan datang.
Seperti ratusan juta warga
Indonesia, Abdul Gafur Mas'ud baru tahu pada Senin (26/8) lalu, bahwa Penajam
Paser Utara adalah lokasi calon ibukota baru. Sebelum hari itu, ujarnya, belum
pernah ada tanda-tanda, bahwa kabupaten itu yang akan terpilih. Tentu saja hal
itu cukup mengejutkan, karena Mas’ud adalah Bupati Penajam Paser Utara (PPU). Dilansir VOA, dua kali pihaknya menanyakan itu untuk memastikan, dan jawaban sama.
“Kami tahunya ketika Bapak
Presiden mengumumkan, sebelumnya kami tidak pernah tahu. Kami belum pernah ada
komunikasi secara langsung kepada Bapak Presiden, tetapi saya yakin (cara) ini
adalah yang terbaik juga, karena kalau nanti dibocorkan, banyak sekali makelar
tanah” kata Mas’ud sambil tertawa.
Sejak keputusan presiden disampaikan Senin lalu, masyarakat PPU
berada dalam gelombang rasa syukur. Hari Rabu (28/8) pagi misalnya, Mas’ud
menjalani upacara adat Tepung Tawar sebagai ungkapan rasa syukur bersama tetua
adat di kantor bupati setempat. Pada Kamis, Mas’ud mengikuti sejumlah acara di
Yogyakarta, masih dengan cerita yang penuh semangat tentang calon ibukota baru
itu.
Mas’ud menyebut
keputusan Jokowi sebagai tinta emas. Tidak hanya di kabupaten yang dipimpinnya,
dia yakin dampak perpindahan ibukota akan merata secara langsung di seluruh
Kalimantan, Sulawesi hingga Maluku. Luas kabupaten ini 3.333 Km persegi,
sementara Jakarta hanya 661 Km peresgei. Ada 10 juta orang di Jakarta,
berbanding terbalik dengan PPU yang hanya berpenduduk sekitar 160 ribu. Karena
itu, kata Mas’ud, mereka membuka tangan untuk siapa saja yang akan datang.
“Saya tidak pernah
pesimistis tentang kedatangan orang-orang dari luar kabupaten kami. Saya juga
merasa, bahwa seluruh orang yang datang dengan KTP Republik Indonesia itu
adalah saudara saya,” kata tambah Mas’ud.
Banyak Persiapan
Dibutuhkan
Namun, di luar
sara syukur itu, Mas’ud juga mengakui ada banyak yang masih harus dilakukan. Di
sektor kesehatan misalnya, pihaknya masih harus meningkatkan status rumah sakit
agar lebih layak. Pembangunan infrastruktur di 30 desa dan 24 kelurahan juga
terus digenjot. Tidak kalah penting adalah kesiapan sumber daya manusia lokal,
agar mampu memperoleh manfaat dari proyek besar ini.
Hal itu juga diakui Nicko Herlambang, Kepala Bagian Pembangunan,
Setda PPU. Bahkan dia mengatakan, perbaikan sumber daya manusia merupakan salah
satu prioritas.
“Memang kami
kejar-kejaran dengan waktu, karena penetapan ibukota ini cepat sekali, dan kami
harus speed
up untuk proses pembangunan di Kabupaten kami. Kesiapan tata
ruang, kesiapan juga penduduk kami. Kesiapan manusia menjadi hal yang paling
fundamental. Kalau kami bisa membangun ibu kota tapi nanti sebagai masyarakat
kami tersisihkan, ini menjadi problem besar buat kami. Kami tidak ingin hal itu
terjadi. Kami ingin menyiapkan SDM. Kami ingin menyiapkan keruangan kami,” kata
Nicko.
Nicko merinci,
Bappenas telah menetapkan bahwa 40.000 hektar areal pengembangan ibukota tahap
pertama ada di PPU. Karena itulah, kabupaten itu harus menyusun perencanaan
tata ruang yang baru bersama pemerintah pusat. Sosialisasi kepada masyarakat
dan penyiapan anggaran untuk persiapan lokal segera dilakukan.
Perlu Kajian
Interdisipliner
Hari Kamis pagi,
Nicko datang ke UGM untuk berdiskusi dengan sejumlah pakar lintas keilmuan.
Pemerintah PPU ingin melakukan pendekatan menyeluruh, dengan menerima masukan
untuk setiap sektor.
“Kami punya
beberapa proyek strategis nasional yang sedang dibangun, yaitu proyek jembatan
Pulau Balang dan jembatan tol Teluk Balikpapan. Nanti ke depannya, kalau
pembangunan ini semua sudah selesai, kami sudah siap untuk menyambut datangnya
teman-teman dari ibu kota, pindah ke Penajam,” tambah Nicko.
Dyah Rahmawati Hizbaron, pakar geografi yang turut berdiskusi
terkait ini mengatakan, PPU membutuhkan pendekatan dari berbagai bidang
keilmuan.
“Beberapa hal yang
mungkin dibutuhkan adalah, kajian interdisipliner terkait kajian ruang, kajian
neraca sumberdaya air, kemudian kebutuhan pangan dan juga nanti bagaimana interlinkages-nya
terhadap wilayah. Mengingat kabupaten ini sudah memiliki existing livelihood
yang tidak dengan mudah bisa didatangi modernitas, barangkali nanti perlu
penyelarasan dari kajian humanisme untuk bisa melihat bagaimana pola perubahan
itu nanti diterapkan,” kata Dyah.
Dyah menambahkan,
sebagai wilayah yang akan meningkat secara dratis dalam banyak sisi, harus
diperhatikan upaya pemenuhan kebutuhannya. Pemenuhan sandang, pangan dan papan
harus dihitung. Harus didesain pula bagaimana keterkaitan wilayah antara PPU
dengan kawasan sekitarnya.
Yang cukup mendesak ditetapkan, menurut Dyah,
adalah status pengelolaan wilayah yang akan menjadi ibukota itu. Berapa luas
wilayah yang akan menjadi otorita pemerintah pusat, dan berapa yang masih
dikelola daerah. Perlu dipertimbangkan pula, bagaimana status wilayah ini
apakah akan menjadi daerah tersendiri atau masih di bawah kewenangan PPU.
Tanah Keluarga
Prabowo
Bupati PPU, Abdul
Gafur Mas'ud secara terbuka mengakui bahwa ada sebagian wilayah calon ibukota
yang saat ini berada dalam pengelolaan grup usaha milik Prabowo Subianto dan
adiknya, Hasyim Djoyohadikusumo. Perusahaan mereka memiliki hak kelola
setidaknya area seluas 60 ribu hektar. Belum diketahui seberapa luas lahan ini
akan diminta kembali oleh negara. Namun Mas’ud memastikan, semua persoalan hak
dan kewajiban dapat diselesaikan.
Mas’ud menceritakan, lahan tersebut dulu dikelola oleh
perusahaan asal Amerika Serikat yang kemudian diambil alih oleh keluarga
Prabowo.
“Tapi mereka
berdua kan anak bangsa. Saya juga sependapat saja kalau keluarga Pak Hasyim
yang ambil alih. Seandainya saya duluan lahir, dan ada rezeki saya juga pengen
ngambil daripada diambil orang asing, lebih baik kita sebagai anak bangsa,”
ujar Mas’ud.
Sekali lagi,
bupati yang baru berumur 31 tahun ini meyakinkan, tidak ada masalah dengan
pengelolaan lahan oleh keluarga Prabowo. Di PPU dan Kalimantan secara umum,
banyak investor yang memang memiliki Hak Pengelolaan Hutan (HPH).
Mas’ud meyakinkan,
bahwa sejak awal para investor telah memahami aturan yang berlaku, bahwa hak
atas tanah tetap pada negara.
"Tentulah
kita harus menghargai hak perorangan. Kita mengerti bahwa negara ini mempunyai
aturan hukum yang berlaku, jadi kita tinggal menunggu kesepakatan kedua belah
pihak, pemerintah dan Pak Hasyim,” tambah Mas’ud. [ns/uh]