Sudah 10 tahun terakhir ini Istu Prayogi mengurangi aktivitasnya. Semua
bermula sejak 2003 silam, ketika ia kerap didera sakit kepala hebat disertai
tersumbatnya pernapasan. Awalnya, Istu mengira keluhan itu disebabkan sinus. Tetapi, hasil pemeriksaan mematahkan dugaannya. Enam tahun bolak-balik
beberapa rumah sakit, diagnosis pasti baru diperoleh pada 2009. Tes
laboratorium menunjukan ada masalah di sistem pernapasan Istu.
“Dokter bilang paru-paru crowded,” ujarnya kepada kumparan.
Vonis itu membuatnya bingung. “Saya selama ini tidak pernah merokok, kalau
lingkungan juga bisa dilihat bersih.”
Paru-paru Istu, menurut dokter, sensitif terhadap udara kotor. Tak ada obat
untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Dia hanya diberi semacam cairan semprot
hidung yang digunakan bila penyakit tersebut kumat. Tak cuma mengurangi
aktivitas, sejak itu pria berusia 54 tahun ini juga harus mengenakan masker
tiap berada di luar ruangan.
Istu pun akrab dengan obat yang tiga kali sepekan diminum untuk mencegah
sakitnya kambuh. Sakitnya sempat kumat ketika dia mengikuti seleksi pemilihan
komisioner Komisi Pemilihan Umum Pusat pada 2014.
Sebagai orang yang sensitif terhadap udara kotor, Istu tergerak bergabung
mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) mempersoalkan polusi
udara di Jakarta. Terlebih, Pria yang berdomisili di Depok ini tiap
hari bekerja di Jakarta.
Inisiator gugatan
merupakan Koalisi Gerakan Bersihkan Udara, yang terdiri dari sejumlah lembaga
swadaya masyarakat. Pengacara publik dari LBH Jakarta, Ayu Ezra Tiara, menilai
Pemprov DKI lalai menjalankan fungsi dan tugas pengendaliannya sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara.a
Alhasil, banyak warga yang beraktivitas di Jakarta menjadi korban. Ini pula sebabnya, gugatan warga negara dipilih sebagai instrumen menggugat pemerintah. Untuk menjaring
April-14 Mei 2019. calon penggugat, LBH Jakarta membuka pendaftaran secara online yang dibuka 14 “Kita mengajakmasyarakat luas yang merasa pemerintah telah lalai memenuhi hak atas kesehatan dan lingkungan sehat (menggugat),” kata Ayu.
Juru Kampanye
Iklim dan Energi Green Peace Indonesia, Didit Haryo, mengungkapkan buruknya
kualitas udara di Jakarta. Organisasinya merupakan salah satu anggota Koalisi
Gerakan Bersihkan Udara. Data yang dikumpulkan Greenpeace menunjukan kualitas
udara di Jakarta selama rentang Januari-September 2017 memprihatinkan.
Hanya 23 hari di Jakarta Pusat yang bisa dikategorikan sehat dari total 365 hari dalam satu
tahun. Sementara jumlah hari dengan udara sehat di Jakarta Selatan lebih
Index. Dari sekian banyak polutan di udara Jakarta, menurut Didit, jenis PM(particulate matter)2,5
sedikit, hanya 11 hari. Tolok ukurnya mengacu pada United States Air Quality dianggap paling mengkhawatirkan. Selain keberadaannya sulit terdeteksi, dampak yang diakibatkannya pun bisa fatal.
Bila
masuk ke dalam tubuh, PM2,5 akan terakumulasi dan dalam jangka panjang
berpotensi memicu penyakit seperti strok, jantung dan paru-paru. “Biasanya
terbawa dalam darah dan menyerang organ terlemah,” kata Didit. Bagi ibu hamil,
konsentrasi PM2,5 yang tinggi bisa mengganggu tumbuh kembang janin.
PM2,5 merupakan
polutan berukuran 2,5 mikrometer ke bawah. Saking kecilnya, tubuh manusia tak
mampu menyaring partikel ini. Bahkan, kata Didit lagi, masker yang biasa dikenakan
masyarakat tak cukup ampuh mencegah PM2,5 terhirup. Perlu masker khusus jenis
N95 untuk menyaring partikulat ini.Angkanya melonjak menjadi 42,2 µg/m3 di
tahun berikutnya. Data dari alat pemantau di Jakarta Pusat juga menunjukan
peningkatan. Konsentrasi rata-rata PM2,5 pada 2017 ada di angka 27,6 µg/m3. Sementara data
2018 menunjukan kenaikan menjadi 37,5 µg/m3. Konsentrasi PM2,5 di Jakarta
Selatan dan Jakarta Pusat selama dua tahun itu jauh melampaui batas. Bila mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 41/1999, baku mutu kandungan PM2,5 tahunan tak lebih dari 15 µg/m3. Artinya, kadar PM2,5 di Jakarta pada 2017 dan 2018—berdasarkan ambang batas yang ditetapkan. alat pantau Kedutaan Besar Amerika Serikat—sudah lebih dari dua kali lipat
“Paparan PM 2.5 jika terus dibiarkan, berdasarkan riset kita bersama Harvard menyebabkan 6.500 kematian dini setiap tahunnya” ujar Didit.